Bahasa Indonesia diproyeksikan menjadi bahasa internasional. Optimisme
itu diungkapkan Ketua Komisi Harian Nasional Indonesia untuk UNESCO
Arief Rahman, pada 15 November 2011. Menurutnya, bahasa Indonesia
memiliki peluang menjadi bahasa Internasional karena tidak asing di
telinga komunitas internasional. Khususnya di negara-negara tetangga.
Peluang itu dinilai lebih besar dibandingkan berbagai bahasa di Eropa.
(Kompas, 16/11)
"PBB baru menolak bahasa Jerman menjadi bahasa
internasional karena hanya dipakai di Jerman," ujarnya. Arief Rahman
menghimbau Badan Bahasa di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lebih
aktif mengampanyekan gerakan cinta bahasa Indonesia. Menurutnya, bahasa
Indonesia harus digunakan secara aktif tidak hanya di sekolah, tapi juga
dalam komunikasi sehari-hari.
Menilik Sejarah
Pada
16 Juni 1927, sidang Volksraad gaduh. Bahasa Indonesia digunakan dalam
sidang Dewan Rakyat. Di zaman Hindia-Belanda berkuasa, menggunakan
bahasa Indonesia dalam acara resmi menjadi sebuah paradoks; antara
kebanggaan dan nasionalisme berhadapan dengan sikap inlandear sebagai
bumi putra.
Ialah Jahja Datoek Kajo, anggota Volksraad kelahiran
Kota Gadang 1 Agustus 1874. Ia menentang tradisi tidak menggunggulkan
bahasa Indonesia. Azizah Etek, dalam buku Kelah Sang Demang, Jahja
Datoek Kajo (2008) mencatat ketidaklaziman anggota Volksraad dari
kalangan bumi putra menyampaikan pidato dengan bahasa Melayu
(Indonesia).
Sebelum Jahja membuat geger sidang Volksraad itu,
Haji Agus Salim pernah berbahasa Indonesia, tetapi diperingatkan oleh
tuan Voorzitter. Namun Agus Salim menyangkal karena, "menurut Dewan saya
punya hak untuk mengeluarkan pendapat dalam bahasa Indonesia." Kita
bisa beranggapan bahwa kengototan Jahja menggunakan bahasa Indonesia
terilhami oleh Agus Salim. Tapi, Jahja masih selangkah lebih maju. Dalam
sebuah sesi, 22 Juni 1927, Jahja berpidato sambil menyentil anggota
lain. Katanya, "Saya berharap kepada tuan-tuan yang hadir dalam Diwan
Rakyat ini mau menyela pembicaraan saya. Dengan hormat saya minta supaya
dilakukan bahasa Melayu, (Azizah Etek: 2008)"
Permintaan Jahja
sangat politis dan berniat menaikkan harga diri bahasa dan orang
Indonesia. Ia tak rela, di tanah sendiri, harus berbahasa dengan bahasa
orang lain. Bukan karena ia tak mampu. Azizah Etek (2008: 30)
mengingatkan sebagai seorang tamatan sekolah desa, sekolah kelas dua,
Jahja tentu mampu berbahasa Belanda. Pilihan menggunakan bahasa
Indonesia merupakan bentuk nasionalisme, dan membentuk identitas yang
tidak diakui. Persoalan berbahasa di sidang Volksraad bukan sebatas
masalah bagaimana pesan dapat dipahami oleh anggota lain. Jahja memberi
contoh bagus merangkai martabat, membangun identitas, dan mengusulkan
perubahan.
Jahja geram tatkala seorang wakil pemerintahan Belanda
menjawab dengan bahasa Belanda disertai embel-embel bahwa kalau kurang
jelas hendak bisa bertanya kepada Mochtar, salah seorang anggota. Dua
alasan kegeramnnya, pertama; Jahja dianggap kurang paham bahasa Belanda,
dan kedua; orang Belanda enggan berbahasa Indonesia. Menyikapi itu,
Jahja berkelakar, "Tuan tentu memaklumi, bahwa sekalian bangsa dalam
dunia ini lebih suka berbahasa di dalam bahasanya sendiri. Sebabnya
perasaan Indonesier tinggal di orang Indonesier, perasaan Belanda di
Belanda."
Pemicu
Buku
Pesona Bahasa (2005) mencatat, mengutip penelitian The Summer Institute
of Linguistic, terdapat 726 bahasa daerah di seluruh kawasan Indonesia.
Bahasa-bahasa itu memiliki penuturnya masing-masing. Ada yang
dituturkan jutaan, beberapa ribu, bahkan hanya dinikmati beberapa puluh
saja. Nah, bahasa Indonesia mempertemukan bangsa-bangsa yang sudah
memiliki bahasa tuturnya sendiri. Bahasa Indonesia berdiri di tengah
sebagai penyambung banyak lidah.
Nasib bahasa Indonesia
diperteguh kehadiran Sumpah Pemuda yang ditulis dan dibaca-jelaskan oleh
Muhammad Yamin pada kongres 28 Oktober 1928. Sumpah pemuda menjadi
titik lain penegasan identitas bangsa Indonesia dengan bahasa resmi;
bahasa Indonesia. Teks itu berbunyi: Kami putra dan putri Indonesia,
menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Teks ini gagah di
tengah banyaknya bahasa yang ada di Indonesia. Teks itu menyihir dan
mempersatukan pluraritas bahasa di Indonesia. Kita bersatu dan tergerak
dalam rima yang satu. Ia menjadi pemicu untuk sadar terhadap hakikat
bangsa yang dihuni oleh banyak suku. Teks ini memikat sekaligus
memberikan harapan agar bangsa Indonesia bersedia mempersatukan
kehendak. Ya, teks itu ampuh dan jitu membawa alam bawah sadar manusia
Indonesia dalam tegangan nasionalisme. Teks ini menyelamatkan
kemungkinan bahasa Belanda dijadikan bahasa sehari-hari.
Langkah
strategis sudah dirumuskan Kepala Badan Pusat Bahasa Kemdikbud Agus Dhar
ma untuk memperluas jangkauan bahasa Indonesia. Rencananya, di setiap
negara, akan ditambah pusat bahasa dan kebudayaan Indonesia. Sampai
kini, ada 150 pusat bahasa dan kebudayaan Indonesia di 48 negara.
Yang
harus kita waspadai sekarang ini adalah ketidakpercaya-dirian bangsa
Indonesia memanggul identitasnya sebagai bangsa. Meskipun sudah merdeka
puluhan tahun, kita masih terus didikte oleh bangsa lain. Kenyataan itu
bisa dilihat dari betapa menjamurnya kursus-kursus bahasa asing di
mana-mana. Kita memang sudah selayaknya menghadapi zaman globalisasi ini
dengan mampu menguasai berbagai bahasa, terutama bahasa yang digunakan
sebagai bahasa internasional, antara lain bahasa Inggris dan Arab. Tapi,
kita pun mesti mempertanyakan pada diri kita, apakah sudah menggunakan
bahasa Indonesia dengan sebaik-baiknya berbahasa. Hal terkecil misalnya
bagaimana kita menulis pesan singkat, atau menulis status di jejaring
sosial.
Sering saya jumpai, banyak orang yang tidak sadar kalau
mereka telah merusak bahasa Indonesia dengan cara menyingkat atau
mengganti dengan huruf-huruf alay. Untuk hal yang demikian ini,
barangkali kita harus malu dengan Jahja yang begitu gigih memperjuangkan
kelayakan bahasa Indonesia digunakan di sidang Volksraad yang angker
itu. Atau deklarasi sumpah pemuda yang salah satu poinnya menjunjung
bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Maka itu, nasib bahasa
Indonesia mestinya menjadi tanggungjawab kita semua. Jadi, bukan hanya
lembaga kebudayaan pemerintah saja yang harus menjaga.
http://karodalnet.blogspot.com/2012/02/contoh-artikel-tentang-bahasa-indonesia.html
0 komentar:
Posting Komentar